Haaiii, awak balik lagi untuk lanjot cerita 22 Hal yang Saya Amati di Jepang (bagian I). Ayam sori karena diselang-seling postingan iklan. Soalnya, awak, kan, jugak mesti cari duwid duwid duwiiid haha. Seperti biasa, postingan ini terselenggara berkat kerja sama saya dengan Azizah Fatimah (IG @azizah_nf), sepupu yang tinggal di Shiga Prefecture, Jepang. Alhamdulillah dia tak keberatan disandera menjadi informan. Sogokannya cukup pempek telor dan keripik sanjai balado. Oke, mari kita lanjooottt. Di Jepang itu ….
11. biaya hidup tinggi
Ini udah saya mention di postingan Jepang sebelumnya, yo. Saya kasih contoh, di sini buka taksi 6.500 perak, sementara di Jepang 650 yen (hampir 80 ribu perak). Beda lokasi beda harga. Harga buka taksi di Sapporo lebih mahal sikit daripada di Tokyo. Kalok tak terpaksa, awak malaslah naik taksi. Yaaa … dipikir-pikir ngapain jugak naik taksi wong transportasi umum (selain taksi) di Jepang itu aman nyaman tentram sentosa gemah ripah loh jinawi.
Contoh lain, jelang musim dingin, harga buah-buahan bakal selangit! Harga satu buah melon bisa mencapai 5000 yen (Rp600 ribu lebih). Yes, saya ulangi, SATU BUAH. Ukurannya kecik pulak. Itu melon sampai dikotakin terus dipitain saking spesialnya, Saudara-saudara!
So, sekali lagi, melalak ke Jepang setidaknya membuat saya lebih pandai bersyukur. Kata pepatah, seenak-enaknya hujan emas di negeri orang, lebih enak hujan batu di negeri sendiri. Benjol, benjolah situ. Di sini pengin makan buah apa aja ada, apalagi kalok lagi musimnya. Harga relatif terjangkau. Duku sekilo 10 ribu perak, pisang ambon sesisir 15 ribu perak, jeruk sekilo 18 ribu perak, maka nikmat dunia manakah yang kamu dustakan?
12. masih banyak penjual buku, koran, dan majalah
Negeri kita mengalami senja kala media cetak. Berbagai media cetak ternama sekelas koran Sinar Harapan, majalah Reader’s Digest Indonesia, dan tabloid Bola tutup usia. Sebagian bertransformasi menjadi media online. Jumlah toko buku dan lapak koran + majalah terus menyusut.
Akan tetapi, di stasiun-stasiun kereta di Jepang, saya melihat bertebar aneka toko buku. Di minimarket pasti ada lapak koran + majalah. Tempo hari saya sempat memotret satu event book fair di stasiun kereta di Marunouchi. Kalok main ke resto atau naik kereta, dijamin tersaji pemandangan orang Jepang sedang membaca buku, baik buku berhuruf latin maupun kanji. Dari pengalaman ini, tahun 2018 menjadi titik balik saya aktif kembali membaca buku. Di satu sisi, saya memang merasa amunisi menulis kian berkurang. Tulisan flat dan kosakata itu-itu aja. Saya butuh membaca buku, buku, dan buku.
![]() |
Toko buku di stasiun |
![]() |
lapak koran dan majalah di minimarket |
![]() |
Book fair di stasiun |
|
13. pintu taksinya menutup otomatis
Pernah kejadian saya demikian gigih mencoba menutup pintu belakang taksi di Sapporo. Sopir taksi menjelaskan dalam bahasa Jepang, manalah awak paham yekan. Setiap saya mencoba menutup pintu, pintu langsung membal ogah menutup. Sementara itu, sopir taksi terus bercakap entah hapa-hapa, tambah tinggi pulak intonasi suaranya. Hajab! Jantung saya berdegup semakin kencang, tangan mulai gemetar, keringat dingin muncul. Bukan, ini bukan gejala diabetes. Halah. Saya panikdotcom! Entah cemana caranya, akhirnya hidayah itu datang jugak. Begitu saya memilih duduk pasrah dengan tatapan nanar, seketika itu pula PINTU TAKSI MENUTUP OTOMATIIISSS!!!
![]() |
Nunggu taksi di Sapporo dengan muka kucel *omak lelaaahhh raun-raun seharian* |
14. di mana-mana ada perempuan pakai kimono
Cukup sering saya jumpa perempuan Jepang dari segala usia, jalan-jalan (termasuk di stasiun dan kereta) memakai kimono, pakaian tradisional Jepang. Mereka kelihatan biasa-biasa aja, tak kaku atau gelisah cemana-cemana. Padahal, kimono itu berlapis-lapis bahannya dan mesti rapat memakainya. Kebayang kalok tiba-tiba klen kebelet pipis dan pengin lari terbirit-birit ke toilet dengan kostum kimono lengkap plus alas kaki geta(sandal kayu tradisional Jepang).
Kami beruntung mendapat kesempatan memakai kimono di Jepang. Saya dan anak-anak menyewa kimono milik Teh Dewi, muslimah asal Indonesia yang tinggal di Takatsuki. Silaturahim yang luar biasa, kami berjabat tangan bukan cuma demi perkara menyewa kimono. Kapan-kapan saya ceritakan di postingan terpisah.
Fyi, kimono beda sama yukata, yo. Sekilas penampakan kimono dan yukata dari luar mirip, tapi kalok yukata itu bahannya selapis aja dan tak butuh begitu banyak waktu untuk memakainya. Kita bisa membedakan apakah perempuan Jepang udah menikah atau belum itu dari kimono yang mereka pakai. Harga kimono jauh lebih mahal daripada yukata. Menurut Teh Dewi, harga satu set kimono bisa mencapai Rp50 juta.
![]() |
Terharuuuw melihat anak-anakku mau pakai kimono *srooottt |
15. orang Jepang modis-modis
Orang Jepang modis-modis? Yes! Asyik sangat melototin pakaian musim dingin mereka, terutama para ciwi-ciwi di Kota Tokyo. Selera fashion mereka yang kece selaras dengan derap langkah mereka yang cepat dan bersemangat. So far saya belum pernah jumpa orang berpakaian kumuh di Jepang.
16. rata-rata pada pakai ponsel merek iPhone
Sepertinya anak muda Jepang fans berat ponsel merek iPhone. Ponsel iPhone X bukan barang langka lagi. Glek. Kalok nini-nini dan aki-aki Jepang lebih senang pakai ponsel flip jadul.
Kawan saya, Deddy (deddyhuang.com), bercanda, “Jangan sampai Mbak Haya beli iPhone di Jepang!” Apa pasal? Suara shutter kamera iPhone asal sana tak bisa di-silent haha. Ini memang peraturan pemerintah Jepang yang menganut hukum anti-voyeurism. Tujuannya supaya ponsel tak dipakai untuk memotret secara sembunyi-sembunyi. Bakal ketahuan klen kalok mau candid kawan yang lagi ngupil asoy.
17. ada resto yang cuma menyediakan meja tanpa tempat duduk
Unik, jelang magrib di Akasaka, mata saya bersirobok dengan resto yang semua pengunjungnya berdiri alias tak disediakan tempat duduk sama sekali! Walah, kalok di sini, kita makan di kaki lima pun disediakan bangku plastik. Semisal klen pulang kerja manalah perut udah kempes (bertolak belakang sama betis yang justru berkonde), masuk ke resto, terus makan minumnya mesti berdiri pulak, apa klen mau? Dijamin naik tensi. Kata Azizah, di Jepang memang ada resto seperti ini. Saya lupa memotret restonya, tapi kira-kira beginilah tampilannya.
![]() |
Meja setinggi diafragma dikelilingi oleh beberapa orang |
18. di Jepang tak ada pengemis
Sama kayak di Singapura, saya belum pernah jumpa pengemis di Jepang. Sesedih-sedihnya kondisi orang di jalanan, sekali saya melihat aki-aki lumpuh berjualan tisu dan snack di stasiun MRT di Singapura. Ini jauh lebih terhormat daripada mengemis. Secara blio udah tua dan fisiknya terbatas. Mungkin pantang bagi mereka diberi uang karena belas kasihan.
Ada satu dua gelandangan kami jumpa di Jepang, tapi mereka tetap bekerja menjual barang-barang bekas layak pakai. Mereka bukan pengemis. Berdasarkan data, gelandangan di Jepang tercatat 0,019% dari seluruh jumlah penduduk Jepang (japanindocuteculuture.com, 2013). Sikit, ya.
Semoga negeri kita bisa segera seperti ini. Hati saya seperti dicungkil setiap jumpa anak-anak pengemis di metromini ibu kota Jakarta. Belum termasuk omak-omak pengemis yang menggendong bayi. Bayinya kok macam pingsan terus ya Allah. Entah dicekoki obat apa makhluk tak berdosa itu. :((
19. rumah di Jepang minimalis
Kenapa, eh, kenapa di Jepang tak ada rumah gedong? batin saya sambil memandangi rumah-rumah di sana. Rumah gedong maksudnya rumah yang besarnya ampun-ampunan seperti rumah di daerah Pondok Indah, Jakarta.
Rumah di Jepang minimalis. No wonder, ini karena negeri Jepang rawan gempa. Rumah dibangun dengan material gipsum, bukan beton. Selain itu, rumah minimalis memang menjadi karakteristik orang Jepang yang serba-praktis. Semua ruangan fungsional. Barang-barang yang ada ya memang barang-barang yang dipakai. Menurut Azizah, selama di Jepang dia belum pernah melihat orang Jepang kumpul ramai-ramai (arisan, misalnya) di rumah. Mereka senangnya kumpul-kumpul di coffee shop aja. Jadi, untuk apa punya rumah besar?
20. vending machine terbanyak di dunia
Jangan khawatir kehausan karena vending machine ada di mana-mana! Di halaman apartemen kami ada vending machine, jalan sekian langkah keluar apartemen ketemu vending machine lagi, dst. Jepang merupakan negara dengan vending machine terbanyak di dunia. Lebih mudah jumpa vending machine daripada jumpa orang naik sepeda motor di Jepang.
Vending machine menjadi solusi karena mahalnya membuka toko retail di sana. Semua serba-otomatis, jadi hemat tenaga pelayan jugak. Harga minuman mulai dari 100 yen (Rp12 ribuan). Selain minuman dingin, tersedia vending machine khusus minuman panas. Minuman kopi, cokelat, enak-enak bikin ngences semua. Btw, vending machine di Jepang tak bakal dijebol tangan-tangan jail meskipun ditempatkan di lorong sepi. Di sini? Awak tak berani jawab aaah hihi.
![]() |
Vending machine di Tokyo Station |
21. di Tokyo banyak burung gagak
Usah heran kalok berpapasan sama gerombolan burung gagak yang petantang petenteng (macam preman aja) di atap-atap rumah dan toko di Tokyo. Sayang, saya lupa mengabadikan keberadaan mereka. Takut kepala dipatuk. LOL.
Kabarnya populasi burung gagak terus bertambah di Jepang, terutama di Tokyo. Kurang tahu sebabnya, bisa jadi burung hitam ini kekurangan makanan di habitat mereka. Burung gagak hobi mengais-ngais sampah di dalam kantong plastik. Jangan sembarangan klen meletakkan kantong belanjaan. Nanti jadi sasaran empuk gerombolan burung gagak. Kwaaakkk … kwaaakkk … kwaaakkk ….!
Satu lagi soal hewan, saya belum pernah sekali pun melihat ada anjing atau kucing liar bertubuh kurus kering, berbuntut patah, atau bermata belek hidup telantar di jalanan di Jepang. Biasanya orang Jepang mengajak hewan peliharaan mereka (mostly anjing) jalan-jalan dalam stroller hewan. Hewan peliharaan mereka tampak sehat terawat didandani pakai baju dan aksesori rambut segala huehue.
22. tutup gorong-gorongnya cantik!
Kalok postingan 22 Hal yang Saya Amati di Jepang (bagian I) saya akhiri dengan cerita toilet Jepang yang seru, nah postingan yang ini akan saya akhiri dengan membahas tutup gorong-gorong di Jepang yang tak kalah seru! Tutup gorong-gorong ini disebut manhoru futa. Klen pernah melihat karya seni mural di tembok-tembok? Cantik, tapi mungkin udah biasa. Bagi saya, tutup gorong-gorong di jalanan di Jepang semacam karya seni baru. Iya, tutup gorong-gorong di sana cantik-cantik! Gambarnya bagus dan dicat warna-warni. Beda kota beda desain, menyesuaikan ciri khas kota tersebut. Kalok saya jalan sambil menunduk di Jepang itu bukan berarti saya sedang mencari uang koin yang jatuh woiii, melainkan lagi penasaran cemana desain tutup gorong-gorong berikutnya yang akan saya temui haha. Ini saya culik foto kaki Azizah sama tutup gorong-gorong di Shiga Prefecture.
![]() |
Tutup gorong-gorong yang cantik! |
Last but not least, Jepang merupakan negeri yang melek teknologi canggih, tapi penduduknya tetap kembali ke akar. Tradisi adalah sesuatu yang mereka junjung tinggi betul. Kami beruntung sempat melihat ritual beribadah penganut agama Shinto di Fushimi Inari. Kapan-kapan saya cerita di IG @ceritamelalak. Rencananya kami pengin ikutan upacara minum teh Jepang di Sakai. Sayang seribu sayang tak sempat. Mungkin lain kali kalok ada rezeki kami balik ke Jepang lagi. ![]() |
Kami sekeluarga dan Azizah + suami di Fushimi Inari |
Selain wisata bersenang-senang, tujuan saya dan suami mengajak anak-anak ke Jepang adalah untuk mengedukasi mereka akan hal-hal baik, terutama karakter sopan santun dan kedisiplinan orang Jepang. Lingkungan yang super-bersih dan serba-teratur, pulak membuat anak-anak betah. Buat Kawan CM yang pengin mengajak keluarga jalan-jalan keluar negeri, mungkin Jepang bisa menjadi destinasi prioritas di bucket list klen.
Next Kawan CM pengin saya membahas apa? Apakah shinkansen, kereta peluru di Jepang dengan kecepatan maksimal 300 km/jam, atau Arashiyama Zoo, tempat kami menonton secara dekat penguin-penguin montok dan lucu? :) [] Haya Aliya Zaki